Menilik Keuntungan Moneter dan Non-Moneter Perjanjian BBNJ: Seberapa Menguntungkan bagi Indonesia

 

photo: Irina Iriser on Pexel

Salah satu aspek yang diatur dalam Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ) adalah sumber daya genetik laut (SDGL) serta pembagian keuntungan atas pemanfaatannya (benefit sharing). Indonesia aktif berpartisipasi dalam Konferensi BBNJ untuk menggaungkan kepentingan global tanpa mengesampingkan kepentingan nasionalnya. Terlepas menjadi salah satu negara yang menandatangani Perjanjian BBNJ di hari pertama open for signature [1],  hingga saat ini Indonesia masih dalam proses pemantapan ratifikasi [2]. Lantas seperti apa prospek keuntungan yang akan didapatkan Indonesia dari Perjanjian BBNJ tersebut?

Dalam hukum internasional, penggunaan istilah pembagian keuntungan (benefit sharing) memiliki sejarah yang rancu dan saling tumpang tindih antara satu bidang dengan bidang lainnya [3]. Namun secara prinsip, pembagian keuntungan didesain untuk merekognisi dan mendorong hubungan yang berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan, terutama dalam menghadapi ancaman lingkungan global i.e. degradasi keanekaragaman hayati [4]. Dengan demikian, Perjanjian BBNJ bertujuan untuk menjembatani ketimpangan negara maju dan negara berkembang dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut global.

Pasal 14 Perjanjian BBNJ mengatur mengenai pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan SDGL dan mengkategorikannya menjadi dua jenis, yaitu keuntungan moneter dan non-moneter. Terkait keuntungan moneter, Konferensi Para Pihak (COP) yang juga memerhatikan rekomendasi dari Komite ABS (access and benefit sharing), akan menentukan jumlah serta skema pendistribusiannya. Skema yang dimaksud dapat berupa milestone payment; a tiered fee; serta kontribusi pembayaran dari hasil komersialisasi produk SDGL. Lalu mengenai keuntungan non-moneter, Pasal 14 ayat 2 merinci cukup banyak jenis yang beberapa diantaranya adalah akses terhadap sampel fisik maupun bentuk informasi digital dari SDGL; peningkatan kapasitas serta transfer teknologi kelautan (CBTMT); serta yang tak kalah pentingnya adalah pelibatan ilmuwan dan peneliti di negara-negara berkembang.

Ketentuan mengenai pembagian keuntungan tersebut tentunya berpotensi baik bagi Indonesia yang kemampuan ekonomi, sumber daya manusia serta teknologi kelautannya masih perlu peningkatan. Kendati demikian, diantara kedua jenis keuntungan tersebut, dapat dikatakan bahwa keuntungan non-moneter memiliki persentase yang lebih besar untuk terealisasi dengan baik. Terdapat dua alasan, pertama karena Indonesia sejauh ini sudah berada dalam tahap mengusahakan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi dengan cara bekerja sama dengan negara lain. Sebagai contoh, kerja sama antara Indonesia dan Korea yang menghasilkan the Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) yang tujuan utamanya adalah peningkatan kapasitas serta joint research antar keduanya [5]. Selain itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga baru-baru ini menjalin kerja sama dengan Uni Eropa dan Agence Française de Développement (AFD) untuk mengembangkan ekonomi biru [6] serta dengan para ilmuwan dari the University of British Columbia untuk menjaga keberlanjutan spesies laut yang terancam punah [7].

Alasan kedua adalah sepak terjang pembagian keuntungan moneter yang kurang positif terutama jika dikaitkan dengan konservasi lingkungan [8]. Perjanjian BBNJ berkerabat dekat dengan Protokol Nagoya serta International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) karena sama-sama mengatur sumber daya genetik walaupun memiliki ruang lingkup yang berbeda. Praktik pembagian keuntungan moneter dalam Protokol Nagoya secara global hampir tidak terlihat sekalipun aturannya sangat jelas [9]. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu dari sisi normatif Protokol Nagoya maupun dari sisi praktis di level nasional (birokrasi yang rumit serta isu kepercayaan terhadap pihak asing). Hal serupa juga terjadi dalam konteks ITPGRFA [10].Euforia pengadopsian Perjanjian BBNJ perlu diiringi dengan tindakan nyata serta penyesuaian ekspektasi mengenai pembagian keuntungan moneter yang diatur di dalamnya. Tindakan nyata yang dimaksud yaitu melalui percepatan ratifikasi agar instrumen hukum tersebut dapat segera memiliki kekuatan hukum. Per tulisan ini dibuat (7 Maret 2025), sudah ada 111 negara yang menandatangani dan 18 negara sudah meratifikasi, artinya masih dibutuhkan total 42 negara agar Perjanjian BBNJ mengikat secara hukum. Selanjutnya, tetap memperkuat kerja sama peningkatan kapasitas dan teknologi kelautan dengan berbagai pihak merupakan langkah konkrit positif alih-alih terlalu mengharapkan pada pembagian keuntungan dari Perjanjian BBNJ, terutama keuntungan moneter yang tidak memiliki track record yang baik jika dikaitkan dengan konservasi lingkungan.

note: please contact us through query@djuandacentremals.org if you need this article to be available in English